Senin, 17 Januari 2011

Generasi Pasar Swalayan


Di kota besar, pasar pasar swalayan punya beragam segmen, hingga ada yang eksklusif. Di kota-kota kecil, Indomaret dan Alfamart ‘menginspirasi’ pemain-pemain lokal membangun usaha serupa. Di tempat-tempat seperti itu, satu dengan yang lain tak butuh diplomasi. Pola komunikasinya sangat minimalis. Masa depan Indonesia, ditentukan oleh mereka, para pemodal yang menyederhanakan interaksi.

Kita sekarang sudah bisa melihat akibatnya. Simak ramai lalu lintas ‘percakapan’ di media-media (jejaring) sosial, seperti Facebook dan Twitter. Satu dengan lain bisa saling komentar, debat hingga berpolemik, bahkan tak jarang memaki dan menghujat ‘lawan bicara’ dengan keberanian luar biasa. Situasi berbeda akan tampak ketika di antara mereka melakukan komunikasi secara tatap muka. Belum tentu secerewet di dunia maya.

Ada beberapa ciri menonjol pada mereka yang lahir setelah pertengahan 1980-an. Sebagian cenderung berani ngeksis dan eksis di wilayah anonim, namun menjadi pemalu ketika harus kontak mata dengan lawan bicara. Pada sebagian yang lain, kelewat percaya diri karena merasa memiliki kemampuan dan pengetahuan lebih, apalagi terhadap lawan audiens yang diketahui tak mengenal teknologi informasi.

Fenomena kopdar atau pertemuan tatap muka antarnarablog, kebanyakan lebih didorong sebagai aktifitas penggenapan sisi ‘asosial’ seseorang. Bagi warga kota, kebanyakan aktivitas rutinnya hanya: rumah-sekolah/tempat kerja-tempat makan-rumah. Berangkat pagi, pulang sore/malam, dan (boleh jadi karena itu) tak ada interaksi intens dengan tetangga/lingkungan. Tentu saja, tak semua generasi internet demikian, meski yang bergaul dalam pengertian melibatkan atensi, simpati dan empati terhadap sesama, bisa disebut anomali.

Ciri umum generasi begini: mudah terkagum-kagum (gumun) pada sesuatu yang pertama kali dilihat/dialami, meski itu sudah lazim diketahui sebagian besar yang lain. Entah itu jenis makanan, pakaian, tempat rekreasi, hingga produk-produk tertentu keluaran pabrik tertentu.

Untuk kelompok ini, saya menyebutnya sebagai generasi (produk) pasar swalayan. Mereka biasa melihat, memilih sesuai keinginan tanpa perlu tanya ini-itu. Biasanya, referensinya terhadap pilihannya sudah memadai entah diperoleh dari orang terdekat atau lewat pesan yang sudah didesain sedemikian rupa oleh praktisi komunikasi alias materi iklan.

Di seberang generasi pasar swalayan, terdapat kelompok lain yang ‘kuno’ namun memiliki kemampuan adaptasi tinggi. Pada ‘generasi kuno’, melekat apa yang dinamakan rasa percaya diri, sehingga memiliki keberanian melakukan kontak mata dengan mitra bicara. Mereka belum tentu berasal dari orang-orang yang lahir jauh sebelum 1980-an. Saya menduga, kuncinya terletak pada pendidikan keluarga.

Keluarga beruntung adalah mereka yang masih sering menyuruh anak-anaknya berbelanja di pasar tradisional atau warung-warung/toko-toko yang tak mencantumkan label harga. Di tempat-tempat seperti itu, masih terdapat komunikasi paling minimal, seperti menanyakan harga. Mereka yang sampai melakukan tawar-menawar bakal menjadi manusia (lebih) ‘unggul’, sebab memperoleh medium belajar menumbuhkan keberanian, seni diplomasi dan negosiasi.

Intinya, mari kembali ke pasar tradisional. Kita bisa belajar banyak dari sana. Termasuk, menghidupkan sektor riil, karena modal akan berputar di situ-situ juga. Tidak seperti pasar swalayan seperti Indomaret atau Alfamart, yang semua keuntungannya akan ‘lari’ ke Jakarta.

Ke mana larinya uang yang kita belanjakan ke hypermarket yang sahamnya dimiliki perusahaan asing?

Mari kita mendidik diri, keluarga dan lingkungan terdekat kita. Tak harus memusuhi yang serba asing. Kalau hanya untuk beli gula, garam dan sayur-sayuran, baiklah kita ke pasar tradisional, pedagang keliling atau di lapak-lapak di dekat rumah kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar