Selasa, 18 Januari 2011

Starbucks Coffee: Antara Tindakan Sosial dan Gaya Hidup


Iim bukanlah penggemar kopi, tapi sekarang ia bersama suaminya sering menghabiskan weekend dengan nongkrong di Sturbuck Plaza Senayan selepas makan siang hingga maghrib. Berbekal laptop masing-masing, pengunjung yang lain pun tenggelam dalam dunia mereka. Ada yang nge-blog atau pun menulis artikel, ada pula yang asyik membaca buku sambil mengutak-atik demo musik di laptopnya. Bahkan ada yang serius ngobrol bersama, yang nampaknya membahas bisnis dengan kliennya.

Kehadiran Starbucks Coffee menawarkan aktivitas mengopi yang berbeda dengan kafe-kafe sebelumnya. Citra sebagai kafe yang bergengsi yang disandang oleh Starbucks Coffe terlihat dari cara Starbucks Coffee memfasilitasi para pelanggannya dengan kebutuhan-kebutuhan yang mengarah pada kebutuhan kaum elit, kenyamanan, serta keakraban yang membuat betah para pelanggan. Detail-detail inilah yang mungkin luput dari perhatian kafe-kafe yang muncul lebih dulu sebelum Starbucks Coffee.

Dalam catatan tersebut, bisa ditangkap bahwa Starbucks Coffee telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari pengunjungnya. Kita juga bisa melihat bahwa tujuan utama seseorang berkunjung ke Starbucks Coffee, bukanlah kopi-nya, tapi hal lain yang disuguhi selain kopi. Karena, berbagai jenis variasi olahan minuman kopi di Starbucks Coffee, bisa ditemui pula di kafe-kafe lain dengan cara penyajian yang berbeda seperti jenis minuman cafe late, flat white, atau cafe and liquor (kopi yang dicampur minuman beralkohol). Apabila dibandingkan, harga minuman di Starbucks Coffee pun lebih mahal dari harga-harga minuman di kafe sejenis dari luar negeri.

Tengoklah harga minuman termurah di Starbucks Coffe adalah Rp. 19.900,-, sementara di Cup & Cino 15.000,-, bahkan di Coffe Beans ‘hanya’ Rp. 12.500,-.

Dari hal di atas, kita bisa melihat bahwa harga secangkir kopi termurah di Starbucks Coffee tidak bisa dikatakan ‘murah’ apabila dibandingkan dengan harga secangkir kopi di Coffe Beans atau Cup&Cino. Bila ditelaah dari sudut ekonomis, seseorang akan cenderung untuk memilih kafe dengan tawaran harga paling murah, dengan kualitas rasa yang sama, kenyamanan yang tidak berbeda jauh, dan sama-sama dari luar negeri. Namun, yang terjadi di lapangan, sebagian besar pecinta kopi di kota-kota besar masih cenderung untuk memilih Starbucks Coffee sebagai tempat yang tepat untuk mengopi.

Hal ini berkaitan dengan citra yang berhasil dimunculkan oleh Starbucks Coffee terhadap para konsumen, bahwa Starbucks Coffee tidak hanya menyajikan berbagai variasi minuman kopi, tapi juga ‘menjual’ kesan yang menyenangkan kepada para pelanggannya.

Starbucks Coffee memahami betul pangsa pasarnya. Penyediaan sofa-sofa yang empuk, selain kursi-kursi yang berkesan formal, adalah bentuk komitmen atas kesadaran Starbucks Coffee, bahwa tidak semua pelanggannya menyukai kursi yang formal, dan tidak semua pelanggan pula menyukai sofa yang kurang tepat untuk acara-acara formal seperti rapat kantor atau bertemu klien. Selain itu, adanya stop kontak di setiap kursi juga merupakan fasilitas yang terkesan remeh temeh, tapi sangat bermakna buat orang-orang dengan mobilitas tinggi. Sementara pengunjung menikmati secangkir kopi sambil mengobrol, ia juga bisa mengisi kembali baterai handphone atau laptop, sehingga mobilitas mereka tidak terganggu hanya karena habisnya baterai handphone atau laptop. Koneksi langsung setiap gerai Starbucks Coffee dengan internet secara cuma-cuma juga menunjukkan bahwa Starbucks Coffee menghargai informasi yang berubah serba cepat, sebagaimana pengunjungnya yang juga tidak bisa lepas dari informasi di dunia luar. Inilah yang mungkin luput dari perhatian kafe-kafe lain yang sudah ada sebelum Starbucks Coffee hadir.

Fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Starbucks Coffee ini secara tidak langsung menentukan jenis konsumen seperti apa yang akan memenuhi gerainya. Begitu pula dari segi harga tiap secangkir kopi. Maka, tidak heran bila kemudian, Starbucks Coffee mempunyai citra sebagai tempat mengopi kalangan menengah ke atas dengan mobilitas yang tinggi.

Satu hal yang tidak lepas dari strategi pemasaran Starbucks Coffee, adalah memahami bahwa kaum urban di kota besar sangat menghargai waktu dan penuh pertimbangan ekonomis. Bila mereka tengah mengopi, maka aktivitas tidak hanya berhenti sampai ‘mengopi’ saja, tapi juga harus ada kegiatan yang lebih produktif lagi seperti menulis artikel, bertemu klien kantor, atau memanfaatkan fasilitas jaringan nirkabel yang disediakan Starbucks Coffee untuk berselancar di dunia maya. Apabila dikembalikan pada pendapat Karl Polanyi, bahwa di era kontemporer, masyarakat akan melihat segala bentuk hubungan dilandaskan atas pertimbangan ekonomis, maka sebab-sebab tersebut sangat masuk akal.

Mengopi di Starbucks Coffe, bukan lagi menjadi aktivitas ngopi semata. Ada nilai prestise dan atmosfer gaya hidup modern di dalamnya, sehingga seseorang akan dianggap ‘keren’ bila mengopi di Starbucks Coffee. Brand image seperti ini tidak muncul dengan sendirinya. Starbucks Coffee Company sendiri yang membuat standar tertentu agar setiap gerainya di seluruh dunia mempunyai identitas tersendiri. Seperti tata ruang yang mewah, lokasi di pusat-pusat perbelanjaan elit, harga setiap cangkir kopi yang di atas harga secangkir kopi di kafe lain, serta fasilitas yang mendukung mobilitas kalangan tertentu.

Hal yang perlu disadari pula adalah, dengan kemunculan kafe-kafe ini, kegiatan mengopi bukan lagi sekadar menikmati secangkir kopi. Ada konstruksi sosial yang terbentuk di belakangnya. Pertama, kecenderungan seseorang untuk bergaul dengan kelompok sosialnya. Hakikat dasar manusia adalah tidak bisa sendiri. Ia akan selalu mencari teman untuk berbagi dan bergantung. Sebuah kecenderungan manusia pula untuk memilih teman yang mempunyai kebiasaan yang sama, cara berpikir yang sama, dan dari kelompok yang sama. Sehingga, seseorang akan merasa sangat nyaman apabila ia sedang berkumpul dengan komunitasnya. Kedua, perasaan ingin diakui sebagai bagian dari kelompok tertentu. Seseorang dalam kelompok sosial tertentu, akan merasakan dirinya diakui oleh orang lain di dalam maupun di luar kelompoknya sebagai bagian dari kelompok tersebut jika ia terbiasa mengopi di kafe-kafe elit. Hal ini berkaitan dengan perasaan bangga atau prestise yang kemudian akan dirasakannya setelah mengopi di kafe tersebut.

Pola konsumsi kaum urban yang mementingkan brand image ini merupakan gambaran mengenai gaya hidup kaum urban di kota-kota besar. Mereka tercermin dari apa yang mereka gunakan, atau mereka konsumsi. Yaitu gaya hidup yang mobile, mewah, dan nyaman. Ini kemudian disebut sebagai konsumsi simbolik; barang-barang yang mereka konsumsi menyimbolkan ‘siapa diri saya’, dan ‘apa status sosial saya’. Hal ini dipengaruhi pula oleh adanya arus globalisasi lewat media massa. Yang kemudian, memunculkan pola konsumsi sebagai bagian dari gaya hidup kaum urban di kota-kota besar di negara berkembang, seperti Indonesia. Selain itu, efek globalisasi pulalah, Starbucks Coffee mempunyai citra elit sehingga, orang sudah mengaitkan Starbucks Cofee dengan gaya hidup kosmopolit dan modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar