Senin, 17 Januari 2011

JAJAN PASAR DI PERGAULAN URBAN


Jajanan pasar, makanan yang sering dianggap “ndeso” itu, memutar roda perekonomian rakyat. Tengok saja pasar subuh Senen yang beromzet rata-rata Rp 1 Miliar semalam. Kini jajanan pasar bertransformasi, bergaul dalam kehidupan urban dan melenggang ke mal.

Pasar subuh Senen merupakan “surga” bagi penggemar jajanan pasar di Jakarta. Bayangkan, hampir semua jenis kue pasar yang mungkin kita kenal ada di sini. Mulai dari lemper, klepon, cenil, bika ambon, putu mayang, bugis, talam, wajik, ongol-ongol, hingga semar mendem. Kue yang dulu tidak dijual di pasar tradisional seperti tar, black forest, dan tiramisu kini juga tersedia di pasar subuh.

Untuk urusan harga, seperti biasa, semakin borongan tentu semakin murah. Range harga pun beranekaragam. Dari mulai Rp. 500-an, Rp. 1.000-an, bahkan Rp. 20.000-50.000-an untuk kue tart. Sama halnya dengan di Blok M, pedagang kue di sini juga membolehkan pengunjung untuk meng-icip-icip beberapa kuenya, supaya percaya rasa dan kualitasnya. Hmm..siapa yang nggak menolak melihat kue-ke mungil nan cantik serta menggugah selera?

Memasuki pasar yang ramai menjelang tetesan embun pertama turun itu, kita akan menyaksikan semangat wong cilik untuk memperjuangkan hidup. Tanpa gembar-gembor soal target pertumbuhan, pedagang kue subuh sanggup memutar roda perekonomian rakyat. Rudianto (58) penjual kue tar, bolu, dan karamel sejak tahun 1982 mengatakan, uang yang beredar setiap malam dari bisnis kue setidaknya Rp 1 miliar.

Bagaimana penganan rakyat menyesuaikan diri dengan gaya hidup urban? Dengan cerdas, para pembuat jajan pasar mengubah kemasan agar penganan tetap tampil gaul tanpa kehilangan rasa “tradisional”-nya.

Selain di pasar subuh Senen, jajanan pasar juga melenggang di mal. Tengok saja ongol-ongol yang dijual di butik kue Tradisional Markoek di Menteng Huis, Jakarta Pusat, yang dibuat versi mini. Kalau biasanya jajan pasar berbahan dasar tepung sagu iniberbentuk bulat, Markoek menjuaqlnya dalam bentuk jajaran genjang kecil-kecil. Dengan ukuran tersebut, makan ongol-ongol dari Markoek tak ubahnya seperti kita menikmati camilan kacang. Sulit untuk berhenti. Jadi, rumusnya kira kira “kecil itu enak”.

Konsumen Toko Kue Martin lebih menyukai ukuran kue yang kecil dengan alasan kepraktisan saat makan. Konsumen rupanya mempunyai persepsi berbeda tentang ukuran penganan. Kalangan menengah ke atas ini juga menuntut agar kue terbuat dari bahan berkualitas nomor satu dan rasa kue yang lezat. “makanya kue yang kecil biasanya justru lebih mahal” katanya pemilik kue.

Begitulah orang-orang ulet dan kreatif menjadikan jajan tradisional tetap “gaya” di tengah perubahan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar